Selasa, 02 Desember 2008

Pendidikan Bermutu di Tengah Pentas Budaya Instan

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat.

Semua yang instan memang praktis, tapi tidak selamanya disarankan.

Keinginan untuk serba cepat tanpa mau menunggu sudah merambah seluruh bidang kehidupan kita. Pendidikan seolah-olah hanya untuk mengejar nilai tanpa memahami betul prosesnya. Budaya instant juga mempunyai dampak terhadap pembentukan kepribadian generasi di masa yang akan datang. Misalnya bagaimana bisa mendapat nilai yang bagus, tidak usah susah-susah belajar, cukup punya trik mencontek cara aman dan cepat. Atau mengikuti sejumlah bimbel yang menawarkan rumus-rumus cerpat dan praktis. Maka tidak heran jika sejumlah lembaga pendidikan menawarkan janji-janjinya dan jurus-jurus ampuh melalui pencapaian angka 100 % kelulusan atau nem tertinggi sebagai daya tarik bagi calon siswa baru.

Praktek pengajaran apapun yang serba ekspres kadang bisa diragukan. Ada filosofi sederhana: sesuatu yang didapat dengan mudah dan cepat akan hilang dengan cepat pula. Jadi mungkin akan lebih dipercaya versi belajar tradisional, belajar dengan tekun tanpa mengenal waktu dan tidak perlu tergiur akan jalan pintas yang hanya memberikan kegunaan sementara.

Otak lambat dan ketidaksabaran sungguh bukan kombinasi yang paling baik untuk seorang pelajar. Tetapi kita harus terbiasa untuk sabar dalam belajar apa pun. Namun banyak juga dijumpai pelajar yang saling membanggakan jalan pintas yang didapat di les. Terutama dalam hal rumus cepat Matematika. Sistem pendidikan yang mendewakan nilai di atas pemahaman, telah membentuk generasi instan, generasi yang mementingkan kesingkatan. Pintar kalau bisa dengan cepat, terlepas dari apakah bisanya karena membeo rumus singkat guru les tambahan atau karena benar-benar mengerti apa yang sedang dituturkan.

Salah satu contoh nyatanya adalah ketika kita disibukkan latihan menguraikan berbagai persamaan matematika sampai lembaran halaman, tak jarang kita dicemooh oleh teman-teman yang mampu menyelesaikan teka-teki tersebut dalam 3 baris. Kepuasan kita melihat barisan uraian x,y,z dipandang lambat, padahal hanya dengan uraian panjang itu kita mengerti proses membedah si persamaan matematika.

Kemudian, ketika proses singkat dalam pemahaman tidak bisa diperoleh, jalan pintas tidak terhormat diambil. Lirik kanan-kiri, menyalahkan si ilmu atau sang guru. Ilmu yang terlalu susah, tidak perlu, atau usang; guru yang tidak becus mengajar, pilih kasih, dsb.

Ketika kita mengalami ketertinggalan pelajaran, kita perlu rumus cepet untuk mengejar ketinggalan, namun cara yang paling baik adalah kejar ketinggalan dengan berusaha lebih giat. Ketinggalan tidak akan terobati hanya dengan mengeluh dan pasrah.

Generasi instan memiliki ciri-ciri hidup serba pragmatis. Mereka kehilangan karakter budaya yang mengajarkan nilai-nilai perjuangan dan kesabaran. Tidak terasa sebenarnya ini adalah perbudakan gaya baru. Perbudakan oleh teknologi dan segala produknya terhadap hidup kita. Untuk mencapai cita-cita, mengejar impian, dibutuhkan kerja keras dan tahap-tahap yang sulit. Tinggal bagaimana memasukkan apa arti sabar, jujur,tawakkal, syukur, sebagai pengawal proses kehidupan yang dia jalani.

Di kalangan mahasiswa, telah mewabah fenomena atau sering disebut dgn student syndrome . ini salah satu budaya instant dalam pendidikan. Misalnya saja, mahasiswa mengerjakan tugas tak lama sebelum batas waktu habis. Mahasiswa sering menyebutnya sebagai metode “sks” alias sistem kebut semalam. Biasanya hal seperti ini disebabkan oleh beberapa factor, antara lain citra diri yang rendah, mentalitas orang yang kalah (self defeating), dan juga karena kecemasan. Ketika mahasiswa merasa rendah diri dan tidak mampu, mereka cenderung menunda pekerjaan yang sebenarnya dapat segera mereka selesaikan. Begitu juga saat mereka memiliki mental self defeating, mereka menjadi pasrah dengan keadaan sebelum mencoba melakukan sesuatu. Mental seperti ini cenderung disebabkan oleh sikap depresif. Gejala ini diwujudkan dalam bentuk kemalasan dan kelelahan psikis. Penundaan juga merupakan gejala kecemasan. Padahal apa yang dicemaskan belum tentu menjadi kenyataan. Biasanya hal ini terjadi pada mahasiswa yang takut salah. Akibatnya dapat menimbulkan penundaan.

Upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, khusunya peningkatan mutu pendidikan matematika masih terus diupayakan, karena sangat diyakini bahwa matematika induk dari ilmu pengetahuan yang lain. Dalam berbagai diskusi pendidikan di Indonesia salah satu sorotan adalah mutu pendidikan yang rendah bila dibandingkan dengan mutu pendidikan negara lain. Salah satu indikator adalah mutu pendidikan matematika yang diduga telah tergolong memprihatinkan yang ditandai dengan rendahnya nilai rata-rata matematika siswa di sekolah lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai mata pelajran lain. Bahkan banyak diperbincangkantentang nilai ujian akhir nasional (UN) bidang studi matematika yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bidang studi lainnya. Bukan hanya pada UN saja yang menunjukkan hasil pendidikan matematika yang rendah, hal lain dapat dilihat pada tingkat prestasi Olimpiade Matematika tingkat SMA yang nilai rata-ratanya lebih rendah dibandingkan dengan dengan olimpiade mata pelajaran lainnya. Hal ini disebabkan rendahnya penguasaan konsep dasar matematika masih kurang antara lain dalam memahami rumus, generalisasi, dan konteks kehidupan nyata dengan ilmu matematika. Bahkan diperoleh keterangan 80% dari peserta memiliki penguasaan konsep dasar matematika yang sangat lemah.

Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, maka perlu di diadakan terobosan-terobosan, baik di dalam pengembangan kurikulum, inovasi pembelajaran dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan. Untuk meningkatkan prestasi pendidikan maka guru dituntut untuk membuat pembelajaran yang lebih inovatif yang mendorong siswa untuk dapat belajar lebih optimal baik di dalam belajar mandiri atau di dalam kelas.

Agar pembelajaran lebih optimal maka media pembelajaran harus efektif dan selektif dengan disesuaikan dengan keadaan peserta didik pada saat proses belajar. Dalam hal peningkatan mutu pendidikan, guru juga ikut memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas siswa dalam belajar matematika dan guru harus benar-benar memperhatikan, memikirkan dan sekaligus merencanakan proses belajar mengajar yang menarik bagi siswa, agar siswa berminat dan bersemangat belajar dan mau terlibat dalam proses belajar mengajar, sehingga pengajaran tersebut menjadi efektif (Slameto, 1987). Untuk dapat mengajar dengan efektif seorang guru harus banyak menggunakan metode, sementara metode dan sumber itu terdiri atas media dan sumber pengajaran (Suryosubroto, 1997). Disamping itu, seorang pendidik dalam belajar mengajar pada proses belajar mengajar hendaknya menguasai bahan ajaran dan memahami teori-teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, sehingga belajar matematika itu bermakna bagi siswa sebab menguasai matematika yang kan diajarkan merupakan syarat esensial bagi guru matematika karena penguasaan materi belum cukup untuk membawa peserta didik berpartisipasi secara intelektual (Hudojo,Herman 1988:7).

Tidak ada komentar: